Oleh: Atifah Rabbani
Respon Tergantung Pemberi Perintah
Suatu hari, seorang Ibu mengingatkan anak pertamanya, sang kakak, untuk segera mencuci piring setelah makan. Sang kakak segera melaksanakan perintah tersebut. Pada hari lain, adiknya yang berusia 5 tahun di bawahnya, mengingatkan akan hal yang sama. Akan tetapi, sang kakak justru melengos malas dan meremehkan.
Perintah yang sama, akan tetapi, perbedaan “siapa yang memerintah” ternyata begitu memberikan respon yang berbeda. Bukankah begitu juga normalnya apapun yang terjadi dalam hidup kita? Kita seringkali tidak pernah mempermasalahkan datang jam 6 pagi, jika itu adalah perintah dari rektor, atau presiden. Kita bahkan akan datang sebelum itu. Ceritanya akan lain jika yang memerintahkan itu adalah orang yang tidak seberpengaruh itu “di mata kita”. Apa jadinya jika kita berani melanggar aturan yang dibuat oleh rektor? Se-tidak-masuk-akal-pun aturan tersebut?
Sayangnya, hal ini justru sering tidak berlaku dalam hal terkait akhirat. Kita seringkali terjerumus dalam maksiat karena fokus pada apa yang diperintahkan, alih-alih siapa yang memerintahkan.
Pola Kegagalan Iblis
Padahal, itu adalah pola kesalahan yang dilakukan oleh setan, sejak awal mula manusia diciptakan. Pada Surah Al-A’raf ayat 11-12 disebutkan:
وَلَقَدْ خَلَقْنٰكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنٰكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ لَمْ يَكُنْ مِّنَ السّٰجِدِيْنَ ١١
Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan kamu (Adam), kemudian Kami membentuk (tubuh)-mu. Lalu, Kami katakan kepada para malaikat, “Bersujudlah kamu kepada Adam.” Mereka pun sujud, tetapi Iblis (enggan). Ia (Iblis) tidak termasuk kelompok yang bersujud.
Kenapa iblis enggan bersujud?
قَالَ مَا مَنَعَكَ اَلَّا تَسْجُدَ اِذْ اَمَرْتُكَۗ قَالَ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُۚ خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّارٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْنٍ ١٢
Dia (Allah) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud ketika Aku menyuruhmu?” Ia (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau menciptakanku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Kita dapat melihat ada dua pola kesalahan iblis di sini:
- Gagal melihat siapa yang memerintahkan, sehingga justru fokus pada apa yang diperintahkan
Allah yang memerintahkan untuk bersujud. Allah yang menciptakan kita, Allah yang menyayangi kita, Allah yang Maha Bijaksana, Allah yang Maha Tahu. Pantaskah kita meremehkan perintahnya, lalu bertindak sendiri sesuai dengan pengetahuan dan prasangka kita yang banyak salahnya ini?
- Distorsi kognitif
Iblis merasa lebih baik daripada Nabi Adam dengan alasan karena ia tercipta dari api, sedangkan Nabi Adam dari tanah. Apakah benar begitu? Apakah benar mereka yang tercipta dari api lebih baik dari tanah? Pemahaman yang salah ini ternyata membawa pada pemikiran yang salah dan pengambilan keputusan serta sikap yang salah.
Bagaimana dengan Kita?
Menyimak pembahasan mengenai dua pola kesalahan iblis tersebut membuat saya merenung banyak-banyak. Seberapa sering saya bertindak semau kita, mempertanyakan kenapa kita diperintahkan begini dan begitu, lalu lupa bahwa Allah lah yang memerintahkan ini semua? Allah yang tidak pernah mendzholimi kita, Allah yang kasih sayangnya lebih besar dari siapapun yang ada di dunia, Allah yang kebijaksanaannya melampaui pengetahuan kita?
Berapa kali kita terjerumus dalam maksiat karena melupakan hal-hal tersebut? :”) Perasaan kecewa, perasaan kesal, perasaan psikologis apapun terhadap suatu kondisi / trigger yang terjadi itu wajar-wajar saja dan sangat bisa dipahami, akan tetapi reaksi kita tetaplah harus selaras dengan panduan-panduan yang telah ditetapkan Allah.
Lalu, seberapa sering kita terjerumus dalam kesalahan karena distorsi kognitif kita sendiri? Misalnya, kita terjebak dengan pemikiran kita sendiri yang sibuk membandingkan dengan pencapaian-pencapaian orang lain, lalu merasa diri kita, atau suami kita, atau anak kita, tidak sebaik orang lain, padahal perasaan itu sungguh hanyalah perasaan yang timbul dari pemahaman yang salah? Benarkah kita tidak lebih baik dari mereka? Pantaskah kita merasa minder? Bukankah itu adalah distorsi kognitif yang akan membawa kita pada maksiat bernama kekufuran, karena kurangnya syukur? Atau sebaliknya, justru kita merasa lebih baik dengan lebih banyak harta atau tingginya jabatan? Bukankah itu distorsi kognitif juga, yang akan membawa kita pada maksiat bernama kesombongan?
Setan Sangat Bersungguh-sungguh Ingin Kita Mengikuti Langkahnya
Jika setan saja bisa terjerumus dan tergelincir keluar dari surga karena dua pola tersebut, tidak heran kalau ia akan mencari pengikut sebanyak-banyaknya dengan membisikkan pola yang sama. Masih ingatkah apa diksi yang digunakan dalam Al-Qur’an terkait upaya setan dalam menggoda manusia? Apa janji setan saat baru saja diusir dari surga? Dilanjutkan pada Surah Al-A’raf ayat 16:
قَالَ فَبِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَۙ ١٦
(Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus.
Setan menggunakan diksi لَاَقْعُدَنَّ, kata dasarnya adalah قَـعَـدَ . Bentuk isim zaman (kata benda yang menunjukkan tempat) dari قَـعَـدَ adalah maq’udu, bermakna tempat duduk / kursi panjang, yang bisa digunakan untuk menghalangi. Maka setan berusaha untuk menghalangi kita dari jalan yang lurus. Tidak hanya itu, pada frasa لَاَقْعُدَنَّ terdapat dua elemen taukid (penegasan) yaitu lam taukid dan nun taukid. Dengan satu taukid saja maknanya sudah sangat menunjukkan kesungguhan, apalagi jika dua elemen taukid! Tidak heran segala daya dan upaya setan memang begitu kuat, mengingat tekad dan janji mereka saja sudah diucapkan dengan kesungguhan yang luar biasa.
Jika kita berpindah ke surat lain yang menjelaskan hal serupa, yaitu pengusiran setan dan janjinya untuk menyesatkan manusia, kita akan menemukan pola-pola serupa. Contohnya di surat Al-Hijr ayat 34-42, pada ayat 39, setan mengatakan:
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (39)
Ia (iblis) berkata “oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka (manusia) di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.
Pada ayat tersebut, setan menggunakan frasa لَأُزَيِّنَنَّ serta لَأُغْوِيَنَّ, keduanya sama-sama menggunakan dua taukid. Betapa mengerikannya tekad dan kesungguhan setan ya? Apalagi mengingat dua pola setan yang telah disebutkan di atas (fokus pada apa yang diperintahkan, serta distrosi kognitif) begitu mudah dijumpai di zaman ini, bahkan mungkin di diri ini :”( Astaghfirullah.
Maka, jangan lupa untuk sering-sering melafadzkan taawudz agar Allah bantu kita dari segala rintangan dan halangan yang dibuat setan.
Akan Tetapi, Kita Punya Allah
Kemudian, jika fakta akan setan yang senantiasa bersungguh-sungguh akan mengganggu ini terasa sangat membebani, mari kita melanjutkan ke ayat selanjutnya di surat Al-Hijr ayat 40:
إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
Kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka
Ternyata, tidak semua hamba akan terjurumus pada godaan setan yang tekadnya luar biasa itu! Ada pengecualian, yaitu mereka yang tergolong ke dalam mukhlasiin, diterjemahkan sebagai “mereka yang terpilih”. Kenapa terjemahannya bukan “mereka yang ikhlas”?
Menurut Ustadzah, terdapat perbedaan antara mukhlisiin dan mukhlasiin. Jika mukhlisiin berarti mereka yang ikhlas, dan dalam kehidupannya masih bisa naik turun, mukhlasiin adalah mereka yang ikhlasnya konsisten, mereka yang memang terpilih untuk Allah karuniai kekonsistenan itu.
Pada tafsir Ma’arif Al-Qur’an, tertulis: as such, these will be people whom Allah has elected to become recipients of the honor of having obeyed Him perfectly and made themselves deserving of the best returns and rewards from Him. Hence, it would be more appropriate to translate it in the sense of ‘the chosen’ rather than ‘sincere.’
MasyaaAllah, betapa istimewanya mukhlasiin ini, ya? Benar-benar mereka yang terpilih. Semoga kita adalah mereka yang terpilih itu, yang bisa terhindar dari tipu daya syaithan yang senantiasa menjadikan indah apa yang sebenarnya menyesatkan. Jika janji syaithan itu nyata dan penuh kesungguhan, jangan lupa kita selalu punya Allah.
Maka, dalam menghadapi tipu daya sytiahan yang luar biasa, jangan tinggalkan Al-Qur’an, jangan tinggalkan dzikir pagi petang, jangan lupa untuk selalu bertaawudz dan beristighfar, semoga Allah perkenankan kita menjadi hamba yang terpilih, menjadi mukhlasiin.
Selain itu, kita sudah paham dua pola kegagalan syaithan kan? Mari kita ikhtiarkan untuk fokus pada pemberi perintah, alih-alih apa yang diperintahkan. Serta mari fokus untuk terus belajar, mendekat pada Al-Qur’an, agar kita terhindar dari kebodohan, terhindar dari distorsi kognitif.
Sumber:
Halaqah Tadabbur bersama Ustadzah Tika Faiza
https://quran.com/en/37:128/tafsirs/en-tafsir-maarif-ul-quran