Oleh: Atifah Rabbani

Konflik apa yang menguras tenaga dan pikiran? Seringkali, konflik dengan keluarga terdekat justru paling menguras tenaga.

Jika berkonflik dengan teman, rekan kerja, kita mungkin bisa mengambil jarak. Akan tetapi, konflik dengan keluarga, suami, anak, saudara, orang tua, benar-benar adalah konflik yang next level karena kita akan selalu berinteraksi dengan mereka, kita akan selalu memiliki kewajiban yang harus kita tunaikan pada mereka.

Apalagi, konflik dengan suami dan anak-anak. Rasanya konflik ini menjadi keniscayaan dalam keseharian, entah konflik yang benar-benar sampai menjadi masalah besar, atau konflik batin.

Allah menyebutkan perkara ini dalam Surah At-Thagabun ayat 14:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka, berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Jika kamu memaafkan, menyantuni, dan mengampuni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Pada ayat ini, Allah menyeru dengan yaa ayyuhalladziina aamanu, yang diseru adalah orang-orang beriman. Maka, ayat mengenai konflik yang pasti terjadi dalam keluarga ini bukan ayat untuk seluruh manusia, akan tetapi khusus untuk orang-orang beriman.

Keniscayaan Konflik, Keniscayaan Solusi

Pada ayat ini, orang-orang beriman diingatkan bahwa, bahkan dalam lingkar terkecil, yang selalu kita doakan dan semogakan akan kebersamaannya dalam dunia-akhirat, akan ada anak-anak / pasangan yang menjadi musuh bagi kita. Konflik itu tidak terhindari. Ini kata Allah.

Akan tetapi, Allah tidak menutup ayat hanya dengan pernyataan tersebut. Ada lanjutannya, yaitu: وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ, jika kamu memaafkan, menyantuni dan mengampuni mereka, Maka Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Unik ya? Solusi dari konflik keluarga yang pasti terjadi adalah berlapang dada dan memaafkan. Ustadzah menjelaskan perbedaan antara ketiga diksi tersebut:

تَغْفِرُوْا : memaafkan, dengan masih ada rasa berat di hati

تَصْفَحُوْا : memaafkan, dengan di hati sudah tidak ada rasa berat. Sudah lapang.

تَعْفُوْا : level tertinggi, yaitu memaafkan dan sampai bisa berbuat baik pada orang yang tidak berbuat baik pada kita.

Ada di level mana kah kita? Ayat ini menunjukkan bahwa, masalah itu nyata dan pasti terjadi, untuk menguji kita, akan tetapi, solusi dari Allah juga nyata. Untuk menjemput solusi Allah tersebut, kita butuh mendekat pada Al-Qur’an akan terus menyadari hal ini secara kontinu.

Hadiah Memaafkan

Mengenai memaafkan dan berlapang dada, kita tentu tidak bisa meninggalkan Q.S. Ali-Imran: 133-135

وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ ۝١٣٣الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ ۝١٣٤وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ ۝١٣٥

Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.

Pada ayat ini, Alllah membimbing kita untuk tidak mengikuti langkah-langkah syaithan, untuk fokus menuju ampunan Allah dan mengejar surga.

Uniknya, pada susunan ayat tersebut, Allah tidak menyebutkan masalah di awal, akan tetapi menyebutkan penawaran / hadiahnya terlebih dahulu, membuka dengan wa saari’uu… bersegeralah, berlarilah. Pola Al-Qur’an ini begitu indah, karena kita diminta untuk fokus pada hadiah, alih-alih masalah.

Dalam memaafkan, dibutuhkan usaha yang tidak mudah. Waktunya lama. Oleh karena itu, Allah berkata, cepatlah lari, move on, ke ampunan Allah, ke surga VIP, surga yang seluasnya langit dan Bumi. Diksi surga pada ayat ini adalah adalah jannatin ‘arduhassamaawaatu wal ardh.

Berbeda dengan pada Q.S. Al-Hadiid: 21, diksinya adalah jannatin ka’ardhissaamaai wal ardh, terdapat huruf ka yang memberikan makna “semakna / sama luasnya” , selain itu pada Al-Hadiid ayat 21 juga disebutkan samaai, langit dalam bentuk mufrod / tunggal, berbeda dengan Ali-Imran: 133 yang disebutkan assamaawatu, langit dalam bentuk jamak / banyak. Pada Al-Hadiid ayat 21, surga yang disebutkan adalah untuk muslim.

Sedangkan, Ustadzah menjelaskan, surga yang disebutkan dalam Q.S. Ali Imran: 133-135 ini adalah surga khusus, surga VIP. MasyaaAllah.

Ada beberapa kategori yang pantas mendapatkan surga tersebut, salah satunya, di ayat 134, adalah وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ, mereka yang senantiasa memaafkan kesalahan orang lain. الْعَافِيْنَ adalah pola wazan isim fail, pelaku, yang dalam maknanya, senantiasa konsisten selama hidupnya. Maka, ‘aafina aninnaas, adalah mereka yang hidup dengan pola hidup senantiasa memaafkan :”)

Memaafkan orang lain, memaafkan dan berlapang dada, terutama terhadap keluarga, akan mengantarkan kita tidak hanya ke derajat muttaqiin tapi bahkan muhsiniin, sebagaimana Nabi Yusuf yang memaafkan kakak-kakaknya :”) MasyaaAllah.

Pola Didikan Nabi Yaqub: Menanamkan Family Strength dalam Islam

Tahu tidak, faktor Nabi Yusuf bisa memaafkan kakak-kakaknya, selain utamanya izin Allah, adalah karena memang early parenting yang dilakukan oleh Ayahnya, Nabi Yaqub? Allah berfirman dalam Surah Yusuf ayat 5:

قَالَ يٰبُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُءْيَاكَ عَلٰٓى اِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوْا لَكَ كَيْدًاۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ ۝٥

Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku, janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu karena mereka akan membuat tipu daya yang sungguh-sungguh kepadamu. Sesungguhnya setan adalah musuh yang jelas bagi manusia.”

Dalam ayat tersebut, Nabi Yaqub memberi peringatan Nabi Yusuf untuk tidak menceritakan mimpi pada kakak-kakaknya, karena kakak-kakaknya akan membuat tipu daya. Akan tetapi, apakah karena kakak-kakaknya jahat? Bukan itu yang Nabi Yaqub sampaikan. Alih-alih, Nabi Yaqub menegaskan di akhir ayat, “Sesungguhnya setan adalah musuh yang jelas bagi manusia.”

MasyaAllah :”)) didikan itu benar-benar menempel di otak Nabi Yusuf. Sampai-sampai, saat sudah menjadi pejabat istana dan bertemu dengan kakak-kakaknya, yang dulu zhalim padanya, akan tetapi saat itu benar-benar membutuhkan bantuannya, Nabi Yusuf bisa tetap berbuat baik pada kakak-kakaknya.

Kurang parah apa konflik keluarga yang dialami oleh Nabi Yusuf? Akan tetapi, Nabi Yusuf bisa menjalankan Ali-Imran: 134, الْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ, Nabi Yusuf bisa menjalankan seruan تَعْفُوْا dari Allah di At-Thagabun ayat 14. Nabi Yusuf hidup penuh trauma, tapi sungguh, yang terucap dari mulutnya hanyalah, “قَدْ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَيْنَا”, alias, “Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami.” (Q.S. Yusuf: 90)

Nabi Yusuf tidak fokus pada konflik apa yang terjadi pada hidupnya, akan tetapi fokus pada siapa yang mengatur kejadian di hidupnya: Rabbul ‘Alaamiin…

Nabi Yusuf tidak fokus menganggap mereka yang jadi pembawa konflik pada hidupnya adalah jahat, akan tetapi benar-benar paham bahwa setan lah yang menjadi musuh utama kita, yang menjadikan manusia bisa berbuat kedzhaliman.

Mari Kita Didik Diri dan Keluarga Kita

Ketika terasa begitu berat amanah, beban dan tugas kita, carilah penawarnya pada Al-Qur’an, dekap erat ia dalam keseharian kita.

Ketika konflik dengan anak, suami, keluarga, terasa begitu memuncak, ingatlah Ali-Imran: 133, Allah berseru untuk kita berlari pada ampunan dan surga Allah yang begitu luas. Ingatlah kita ingin termasuk ke dalam الْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ

Ketika pikiran mulai merasa orang-orang begitu jahat, ketika kita merasa suami melakukan hal yang tidak menyenangkan hati kita, tidak berbuat baik, atau bahkan kita merasa kita yang jahat, ingatlah bukan suami kita, anak kita, atau bahkan diri kita yang jahat, akan tetapi setanlah musuh utama kita. Ingat selalu Surah Yusuf ayat 5: اِنَّ الشَّيْطٰنَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ, sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata.

Tanamkanlah hal ini selalu pada diri kita, pada anak-anak kita, pada keluarga kita, agar kita semua sebagai keluarga tidak saling membenci, tidak saling melukai, akan tetapi kita semua sadar bahwa musuh utama kita adalah setan. Setan yang begitu senang melihat pertengkaran suami istri, setan yang senang ketika ada anak yang tidak taat pada orang tua, setan yang senang ketika ada orang tua yang lalai terhadap kewajibannya pada anak.

Mari kita kuatkan keluarga kita dengan sering-sering merenungi ayat-ayat di atas. Semoga Allah tolong kita menjadi keluarga yang selalu bersama di dunia dan akhirat.

Disarikan dari halaqah tadabbur bersama Ustadzah Tika Faiza

Categorized in:

Rumah Tangga,